الحمد لله رب العا لمين. الصلاة و السلام على رسو ل الله.اما بعد
Membahas
Ahlus Sunnah wal Jamaah (aswaja) akan membutuhkan curahan perhatian dan
konsentrasi penuh, apabila ingin memahaminya secara detail dan
sempurna. Karena pembahasan tentang aswaja dapat berorientasi terhadap
berbagai macam tinjauan, perumusan dan pemahaman, sesuai dari sudut
mana memandangnya. Tinjauan pertama, aswaja diartikan sebagai
suatu kajian ilmiah yang bisa dipelajari lewat literatur-literatur.
Kedua, aswaja merupakan suatu keyakinan yang bertempat jauh di lubuk
hati, yang mewarnai perilaku hidup seseorang. Ketiga, aswaja bisa
dipandang sebagai wadah bagi berkumpulnya individu yang mengarah kepada
satu misi yang disepakati. Dan masih banyak lagi rumusan pengertian dan
pemahaman aswaja menurut titik pandang tertentu yang selama ini terus
berkembang di kalangan masyarakat.
Bentuk dari perkembangan
rumusan pengertian dan pemahaman aswaja ditandai dengan banyaknya ORMAS
(Organisasi Massa) yang sering mengklaim atau mengatasnamakan dirinya
sebagai ormas aswaja. Tempat pendidikan semacam pesantren, madrasah
diniyah, madrasah dengan kurikulum formal dan majlis taklim juga banyak
yang memasang label aswaja sebagai asas organisasi. Bahkan menjamurnya
orsospol / partai politik di era reformasi ini juga tak luput dari
embel-embel aswaja pada asas partai dan AD/ART-nya.
Karena
setiap individu dan kelompok mempunyai kepentingan dan tinjauan yang
berbeda-beda, maka pemahaman tentang aswaja juga menjadi bervariasi
antara satu dengan yang lain. Bahkan terkadang di antara kelompok
tersebut ada yang merasa ‘lebih aswaja’ dibanding kelompok lain. Hal
ini juga sejalan dengan firman Allah yang artinya :
“Setiap kelompok pasti membanggakan ciri khas yang ada pada dirinya.”
(QS. Al mukminun, 53).
Maka,
kuat/lemahnya pengakuan mereka tergantung dari kadar pemahamannya
terhadap aswaja, serta penerapannya terhadap prilaku kelompok tersebut
sesuai dengan kaedah-kaedah yang terkandung di dalam aswaja itu
sendiri. Seorang penyair mengatakan:
Wakullun yadda’i wushlan bi Laila # wa Laila la tuqirru lahu bi dzaka
“Semuanya mengaku sebagai pecinta (kekasih ) Laila. Namun Laila tidak mengakui mereka sebagai kekasihnya”.
Syair tersebut mengisyaratkan bahwa sebaik-baik pengakuan adalah pengakuan yang disesuaikan dengan keadaan sebenarnya.
Agar
kelompok-kelompok yang mengaku sebagai ‘anak buah’ aswaja bisa
mengenali dirinya sendiri, apakah ia sudah sesuai dengan aswaja atau
belum, maka sebagai pengenalan dasar hendaknya memperhatikan hadits
nabi tentang definisi aswaja :
“Telah terpecah kaum Yahudi tujuh
puluh satu golongan, dan terpecah pula kaum Nasrani menjadi tujuh puluh
dua golongan, sedangkan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan, semuanya berada di neraka kecuali satu golongan”. Tatkala
Rasulullah SAW ditanya tentang golongan yang selamat itu, beliau SAW
menjawab: “Golongan yang mengikuti perilakuku dan perilaku para
shahabatku”.
Hadits ringkas dan padat ini sebenarnya mempunyai
arti dan kandungan yang sangat luas, bahkan telah mencakup seluruh
sendi dan pilar agama Islam. Sebab inti dari beragama Islam adalah
ittiba’ (mengikut secara mutlak) kepada Rasulullah SAW.
Beberapa hal yang merupakan dari ittiba’ (mengikuti) kepada beliau SAW misalnya :
Perintah
Rasulullah SAW terhadap pelaksanaan shalat yang merupakan ‘imaduddin
(tiang agama) beliau SAW bersabda yang artinya : “Shalatlah seperti
kalian melihat aku shalat”
Perintah menunaikan ibadah haji, sabda beliau yang artinya: mencontohlah dariku manasik haji kalian”
Dua
hal di atas dikuatkan oleh ayat Alquran artinya : “Dan bagi kalian pada
diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik” (QS. Al-ahzab,21).
Dua
contoh di atas sengaja disederhanakan, namun tidak berarti meniru
Rasulullah SAW hanya dalam hal-hal ibadah Mahdhah seperti itu, karena
ayat tersebut di atas memberi peluang gerak yang lebih luas lagi, yaitu
perintah meniru perilaku Rasulullah SAW termasuk dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat, berpolitik, dan bernegara.
Di samping
itu, kita tidak boleh mengenyampingkan ilmu dan ajaran para shahabat
Nabi SAW, di mana mereka adalah murid-murid Nabi SAW yang dalam
kehidupan sehari-harinya berkiblat pada beliau SAW. Lebih-lebih lagi
mereka hidup pada zaman diturunkannya Alquran. Maka secara otomatis
perilaku para sahabat telah terkontrol oleh turunnya ayat Alquran
maupun sabda dan pengawasan Rasulullah SAW secara langsung. Demikianlah
kira-kira arti yang tersirat dalam hadits Nabi SAW di atas.
Dari
sinilah individu dan kelompok yang telah mengklaim dirinya sebagai
penganut aswaja, pertama harus tahu persis tentang pribadi Nabi SAW dan
ajaran syariatnya secara menyeluruh dan berupaya menjalakan ajaran
tersebut secara utuh, artinya menerapkannya di dalam kehidupan
sehari-hari baik yang berkaitan dengan urusan pribadi dan keluarga,
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik tata cara
berekonomi, sosial, politik maupun beragama.
Kedua, harus rajin
mempelajari biogarafi para shahabat, ajaran dan ijtihad serta pemikiran
mereka untuk diresapi dan diikuti sebagai pijakan menjalankan rotasi
kehidupan secara islami yang haqiqi. Tanpa itu, pengakuan sebagai
penganut aswaja, hanyalah fatamorgana belaka.
ASWAJA DAN PRILAKU UMAT DEWASA INI
( Bagian Kedua )
Apabila
umat Islam sudah memahami bahwa inti dari aswaja adalah ittiba’
(mengikuti) Rasulullah SAW, maka tentunya setiap individu muslim bisa
mengukur dirinya apakah sudah tepat bila ia mengaku dan menggolongkan
dirinya sebagai penganut aswaja. Ataukah prilakunya telah menyimpang
dari ajaran murni yang dibawa Nabi Muhammad SAW hingga keluar dari
lingkup aswaja. Rasulullah SAW telah mengingatkan umatnya, sebagaimana
yang diriwayatkan Ummul Mukmini ‘Aisyah ra. berkata: Rasulullah SAW
bersabda: “ Barang siapa menciptakan didalam agama kami apa yang bukan
termasuk agama kami, maka hal itu ditolak” ( HR. Bukhari dan Muslim).
“Berhati-hatilah
kalian terhadap amal-amal ciptaan baru, karena sesungguhnya sebagian
bid’ah (ciptaan baru) itu sesat” (HR. Abu Dawud dan at Tirmidzi, hadits
hasan shahih)
* Sebagai keterangan ringkas, Kullu Kulliyah
diartikan “seluruh” sedangkan Kullu Kulli diartikan “sebagian” (harap
merujuk kepada ilmu Manteq, dan bukan dalam forum ini pembahasannya)
Jika
kita merujuk kepada dua hadits di atas, maka kita akan mendapati betapa
banyak amalan kaum muslimin saat ini yang ditolak oleh Islam, sebab
mereka telah masuk pada wilayah bid’ah, seperti adanya sekolah dengan
label Islam bahkan label aswaja, yang mencampuradukkan siswa dan siswi
dalam satu kelas tanpa ada sekat/tabir. Pencampuran lelaki dan
perempuan dalam satu tempat inilah di antara bid’ah yang berkembang di
tengah masyarakat.
Pengertian bid’ah tidaklah mutlak harus
menuju ke arah dhalalah (sesat), sebab umat Islam juga harus mengacu
kepada sabda Rasulullah SAW :
“Hendaklah kalian berpegang teguh
terhadap sunnahku dan sunnah al-Khulafair Rasyidin yang mendapat
petunjuk" (HR. Abu Dawud dan at Tirmidzi, hadits hasan shahih)
Suatu
saat, terjadi perbedaan cara melaksanakan tarawih di kalangan para
shahabat, maka atas ijtihad dari sayyidina Umar bin Khattab ra, rakaat
shalat tarawih ditetapkan sebanyak 20 rakaat dengan berjamaah di
masjid. Kemudian sayyidina Umar bin Khattab berkomentar:
“Sebaik-baik bid’ah adalah (shalat tarawih denagan cara) ini” (HR. al-Bukhari)
Bermula dari dua riwayat di atas, para ulama membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah dlalalah.
Bid’ah
hasanah adalah amalan yang baru di dalam Islam, namun jika ditilik
secara detail, maka setiap bagan dari amalan tersebut masih berada
dalam lingkup makna yang tersirat di dalam ayat Alquran atau Hadits.
Beberapa contoh bid’ah hasanah yang berkembang di tengah masyarakat adalah:
1.Penghormatan
terhadap kelahiran Rasulullah dengan membaca maulid Diba’ dengan
dilagukan. Amalan ini berasal dari perintah Alquran maupun Hadits
tentang pentingnya bershalawat kepada Nabi SAW. Karena itu isi maulid
Diba’ adalah bacaan shalawat kepada Nabi SAW, sedang beliau SAW juga
merayakan hari kelahirannya dengan cara berpuasa pada setiap hari Senin.
2.Mengadakan tasyakkur haji dengan mengundang tetangga dan memberi mereka makan.
3.Penyambutan jamaah haji dengan diarak shalawat terbang, serta memberi makan para tamu yang ziarah haji.
4.Membaca
puji-pujian kepada Rasulullah SAW dengan lagu-lagu yang dibaca sebelum
shalat jamaah dimulai, atau qasidah-qasidah yang dibaca secara koor /
bersama-sama yang semuanya berisi shalawat kepada Nabi SAW
Bid’ah
dhalalah adalah amalan baru di dalam Islam, yang tidak ada landasan
sedikitpun dari Alquran maupun Hadits, bahkan cenderung melanggar
syariat Islam.
Bid’ah dlalalah yang tengah berkembang di
masyarakat sangatlah banyak. Adakalanya dianggap ringan sebab tidak
sampai menjurus kepada kekufuran atau kemurtadan, yaitu bid’ah yang
sifatnya bertentangan dengan hukum haram, seperti mengadakan rombongan
ziarah Wali Sanga dalam satu bus yang pesertanya bercampur antara
lelaki dengan perempuan yang bukan mahramnya, bahkan terkadang dipimpin
seorang wanita. Ziarah ke makam para shalihin hukumnya boleh, asalkan
tidak melanggar ketentuan syariat Islam.
Contoh lain adalah
mengadakan pengajian umum di tengah lapang, dengan pengunjung lelaki
dan perempuan yang bercampur aduk tanpa pembatas. Sebelum acara inti,
diselingi orkes gambus oleh fatayat, bahkan seorang mubalighah tampil
sebagai pembicara, dan terkadang mengenakan baju sedikit ketat dan
tipis, plus perhiasan yang sangat menarik kaum lelaki yang
memandangnya.
Sudah selayaknya para pengikut aswaja menghindari
bid’ah semacam di atas. Serta meemperhatikan firman Allah SWT yang
artinya : Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka atau ayah
mereka…………….” (An Nur : 31)
Termasuk bid’ah yang sering terjadi
pada tempat-tempat pendidikan Islam saat ini adalah seorang guru lelaki
dengan leluasa masuk dan mengajar pelajar putri tanpa batas sesuai
ketentuan agama, atau dalam satu kantor pesantren / madrasah, atau
bahkan kantor ormas Islam yang selalu menyuarakan aswaja, justru yang
bertugas adalah pengurus putra dan pengurus putri dalam satu ruangan
bahkan dengan leluasa berinteraksi seperti layaknya saudara se mahram.
Allah SWT berfirman yang artinya :
“Apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati
mereka”. (Al Ahzab : 53)
Ayat ini menunjukkan bahwa hubungan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya, haruslah dibatasi dengan tabir.
Adapun
bid’ah dhalalah yang sangat mengkhawatirkan dapat menjurus kepada
kemurtadan dan kekufuran, juga telah banyak berkembang di kalangan umat
Islam dewasa ini, yang kadangkala dilakukan secara individu maupun
secara berjamaah. Sebagai contoh, seorang muslim mengucapkan dengan
serius kepada non muslim, semisal : Selamat Natal, bahkan ikut
bergembira dan merayakan perayaan natal tersebut baik di gereja maupun
di tempat lain. Contoh lain adalah mengadakan ritual doa bersama
muslim-non muslim, dengan mengamini setiap doa yang dilantunkan oleh
setiap tokoh agama yang berlainan. Bid’ah mencaci-maki para shahabat
Nabi SAW senabagimana yang sering dilakukan oleh pengikut aliran Syi’ah
Iran. Demikian dan lain sebagainya.
Sumber : www.pejuangislam.com
1 komentar:
nice posting sob.. wawasan tuk kita semua
Posting Komentar